Menimbang Perjuangan Kebangsaan Sarekat Islam (SI) dan Relevansinya bagi Kehidupan Politik Bangsa Saat Ini
“Anda tidak dapat membayangkan bagaimana hebatnya kepanikan dalam
bulan Mei dan Juni (1913) di kalangan orang Eropa mengenai Sarekat Islam”
(Van der Wal)
(Firman Noor, CIDES) Kepanikan luar biasa yang dirasakan oleh orang Eropa di nusantara saat datangnya institusi pengiring “ratu adil” di lembaran baru abad ke-20 merupakan fakta sejarah yang tidak dapat dinafikan. Seperti gelegar auman harimau di tengah lelapnya malam, hadirnya pergerakan anak bangsa itu telah menciutkan hati kaum penjajah yang selama bertahun-tahun hidup dalam ketenangan tanpa ganguan berarti. Tidak pernah sebelumnya terjadi kekalutan yang demikian besar menghinggapi hati kaum penjajah. Tidak pula saat sekelompok elit Priyayai Jawa yang berkumpul di Batavia mendeklarasikan organisasi yang mereka namai Boedi Oetomo (BO) yang menuntut perluasan hak ajar bagi priyayi rendahan pada tahun 1908[1]. Barulah ketika mulai banyak pribumi – yang dianggap sebagai inlander, jongos, warga negara kelas terendah – melakukan perlawanan dengan berteriak “Sarekat Islam!” angin perubahan (the wind of change) dengan lambat tapi pasti mulai dirasakan.
Menurut APE Korver fenomena kepanikan yang belum pernah dirasakan sebelumnya menunjukan awal dari datang sebuah masa menuju pembebasan nasional, sekaligus menjadi bukti bagaimana sebuah organisasi yang mengatasnamakan Islam mampu berperan sebagai motor emansipasi dalam perjuangan mengukuhkan jati diri dan merebut keadilan[2]. Sambutan yang demikian antusias dan cepat di seluruh penjuru tanah air, mulai dari Aceh, Palembang, Banten, Jakarta, Surabaya, Balikpapan, Makassar, hingga Donggala, menjadi bukti tingginya pengharapan anak bangsa terhadap SI. Fenomena ini telah memaksa Gubernur Jenderal Idenburg dan aparatnya meningkat kewaspadaan, sembari bertanya-tanya mengapa hal itu dapat terjadi. Hal yang pasti, jika BO mendapatkan pengakuan dengan mulusnya, maka SI dipaksa dipecah sejak kelahirannya. Dan tidaklah karena potensi pemersatunya itu, Idenburg melakukan kebijakan devide et impera terhadap SI.
Dalam semangat zaman yang terbukti tidak akan pernah kembali itu, kila-kila kehidupan berbangsa dan bernegara diwarnai oleh deru nafas milenaristis dari peluh keringat kaum tertindas bumiputera. Rasa persatuan dan kesadaran perlawanan “kaum koeli” memasuki tahapan baru yang dipicu dengan munculnya SI, sebuah perserikatan yang “tidak umum” dan radikal dimasanya. Sebuah perserikatan yang mampu menarik perhatian hampir semua golongan tidak saja kalangan Islam puritan, kaum pedagang dan rakyat jelata, namun pula orang abangan, para priyayi progresif dan bangsawan. Sebuah perkumpulan yang bersifat lintas-etnis karena tidak saja menggugah dan meningkatkan pengharapan orang Jawa, Madura, Pasundan, maupun Betawi, namun pula beragam suku mulai dari Sumatera, Kalimantan, Sunda Kecil hingga Sulawesi.
Tidak itu saja, di dalam organisasi yang muncul di jantung Pulau Jawa ini, berkumpulah tokoh-tokoh besar pergerakan (yang belakangan kemudian menjadi ideolog dari berbagai macam keyakinan politik) seperti Samanhudi, R HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, Abdoel Moeis, KH Ahmad Dahlan, sampai dr Sukiman, Kartosoewiryo, Ki Hajar Dewantara, Semaoen, Darsono. Semuanya mengusung sebuah keyakinan akan pembebasan, persatuan, perlawanan, dan kemandirian atas dasar identitas dan keyakinan bersama dalam SI, meski kemudian beberapa di antara tokoh itu keluar atau dikeluarkan. Dengan luasnya cakupan dukungan itu tidak mengherankan jika pada tahun keempat keberadaannya organisasi ini telah mendapatkan anggota sekitar 700.000 orang yang tersebar di 180 cabang[3]. Sebuah prestasi yang secara nominal tidak ada tandingnya kala itu dan secara substansial telah mengkokretkan makna persatuan atas dasar rasa senasib sepenanggungan, bukan status sosial atau keetnisan.
Meski kemudian mengalami pasang surut[4], namun peran dari organisasi massa dan cikal bakal partai politik tertua di Indonesia itu sulit dipisahkan dari upaya menghadirkan persatuan Indonesia. Dalam organisasi inilah segenap asa anak bangsa terkumpul dan derap awal pergerakan kemerdekaan nasional berawal. Rezim waktu pun memperlihatkan bagaimana sikap, keberpihakan dan pandangan-pandangan SI demikian relevan dalam menyemai bibit rasa kebangsaan, solidaritas dan persaudaraan di bumi pertiwi.
Terkait dengan upaya mengenang kembali Sarekat Islam, tulisan pendek ini akan pertama, mengetengahkan pijar-pijar kebangsaan SI yang telah dinyatakan dalam pikiran dan perbuatan sejak awal abad ke-20 hingga proklamasi kemerdekaan 1945. Kedua, kemudian dengan mengambil intisari perjuangan kebangsaan SI itu makalah ini akan mengkaji beberapa hal yang relevan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara di era reformasi saat ini. Dalam pada itu, terkait dengan upaya memahami kebangsaan (nasionalisme), sebelumnya akan diketengahkan sejenak batasan ringkas dari makna kebangsaan itu sendiri.
Sebagaimana umum diketahui, bahwa pada hakekatnya kebangsan atau nasionalisme memiliki banyak makna dan pengertian. Benedict Anderson misalnya melihat nasionalisme sebagai sebuah institusi imajinatif yang mengikat beberapa kelompok masyarakat yang kerap tidak saling mengenal atas dasar persaudaraan, yang dari sana kemudian terciptalah bayangan tentang sebuah kedaulatan dengan sebuah batasan teritorial tertentu[5]. Anderson memaklumi bahwa ikatan persaudaraan itu dapat beragam pemicunya, namun hal itu menjadi fundamen mutlak yang harus ada dalam menciptakan komunitas imajiner yang disebut bangsa itu. Sedangkan dalam pandangan Montserrat Guibernau dan John Rex, sejalan dengan pandangan “bapak teori nasionalisme” Ernest Rennan, dengan dilandasi oleh semangat untuk mengedepankan hak-hak masyarakat pada wilayah politik tertentu, nasionalisme sejatinya merupakan “kemauan untuk bersatu tanpa paksaan dalam semangat persamaan dan kewarganegaraan (trans-etnis, pen)”[6].
Sementara itu, Ernest Gellner mendefinisikan nasionalisme sebagai prinsip legitimasi politik yang meyakini bahwa unit-unit keetnisan dan unit-unit politik dalam suatu negara hendaknya harus saling selaras.[7] Dalam batasan ini kesediaan bersatunya kelompok-kelompok etnis menjadi sebuah prasyarat bagi hadirnya sebuah entitas kebangsaan. Lebih lanjut Gellner mengatakan bahwa nasionalisme yang sepatutnya dikembangkan adalah sebuah nasionalisme yang menghargai prinsip-prinsip kemanusiaan, dalam sebuah makna yang komprehensif.[8] Maksudnya adalah sebagai sebuah nasionalisme yang mengajak (participative), tidak diskriminatif dan produktif bagi nilai-nilai kemanusiaan dan kesejahteraan. Kearah itulah sebenarnya makna keindonesiaan itu tertuju karena sifatnya yang jauh dari semangat chauvinistik.
Adapun pengertian nation (bangsa) menurut Gellner adalah kondisi di mana sebuah komunitas memiliki budaya yang sama, termasuk kesamaan dalam konteks sistem ide, simbol, perkumpulan dan cara bertingkah laku dan berkomunikasi, dan mengakui bahwa mereka terikat oleh persaudaraan atas dasar kebangsaan.[9] Makna generik yang bersifat antropologis ketimbang normatif ini cukup relevan digunakan untuk mendefiniskan bangsa di manapun berada. Meskipun perdebatan apakah bangsa itu merupakan produk zaman kuno atau efek modernisasi tidak tercakup dalam batasan ini, dari berbagai pandangan tersebut dapat dilihat sebuah benang merah bahwa semangat untuk rela bersatu dan kepentingan masa depan merupakan esensi dari sebuah bangsa.
Tentu saja batasan kebangsaan di atas bukanlah sesuatu yang final. Beberapa imbuhan perlu dimasukan ke dalam batasan generik itu. Dalam konteks pergerakan nasional, maka persoalan kebangsaan sejatinya terkait pula dengan masalah pembentukan identitas nasional, dengan misalnya kesedian membuat batasan yang jelas antara “kita” dan “mereka” dalam berhadapan dengan kekuatan kolonial. Batasan ini dibutuhkan dalam konteks praktis terutama dalam rangka memperjelas identifikasi masalah dan arah perjuangan. Penumbuhan semangat solidaritas dan persaudaraan dalam payung luka sejarah yang sama juga tidak dapat dilepaskan dalam batasan ini sebab belakangan akan turut menentukan ruh dari bangun imajiner kebangsaan. Lebih dari itu, semangat kebangsaan itu terkait pula dengan upaya dan keinginan untuk melakukan pembebasan, emansipasi dan partispasi politik bagi seluruh rakyat dan komitmen penentangan atau perlawanan terhadap sistem kolonial yang menghisap. Kesemuanya itu pada akhirnya tidak lain ditujukan untuk membangun kedaulatan yang seluas-luasnya. Dan dari batasan-batasan tersebut seperti komitmen SI mengenai penumbuhan semangat kebangsaan akan dilihat.
Pandangan dan Perilaku Kebangsaan si
Para pemerhati gerakan kebangsaan Indonesia secara umum meyakini bahwa Sarekat Islam, yang umum disepakati lahir pada tahun 1912, merupakan organisasi pertama yang bersifat lintas kelas dan etnis, bahkan ideologi[10]. Dalam kapasitasnya tersebut organisasi ini dipandang sebagai sebuah agensi yang memiliki karakteristik pemersatu yang berjiwakan semangat nasional. Jika BO dilihat oleh sebagian kalangan sebagai organisasi pergerakan yang cenderung bersifat elitis dan bahkan punya kecenderungan menjadi pendukung terbentuknya “nasionalisme-jawa”[11], maka Sarekat Islam merupakan organisasi yang berkontribusi dalam menegakan akar kebangsaan dan persatuan Indonesia.
Hal ini dapat dilihat dalam episode paling dinamis dalam sejarah pergerakan awal politik bumiputera pada awal abad ke-20, baik dalam bentuk pemikiran-pemikiran maupun aksi dan gerakan politik. Meski pada awalnya SI menolak disebut sebagai gerakan politik, hal itu sesungguhnya hanya merupakan pandangan sesaat yang segera saja bermetamorfosis. Bahkan George McTurner Kahin, dengan menimbang situasi politik kolonial saat itu, melihat langkah awal SI itu hanya sekedar kamuflase atau strategi jangka pendek untuk menghindari tekanan pemerintahan kolonial pada masa-masa awal pembentukannya[12].
Islam dan Soal Kebangsaan
Terlepas dari itu, satu hal yang nampaknya menjadi sandungan bagi SI untuk sepenuhnya diakui sebagai pergerakan kebangsaan adalah soal keislamannya. Oleh karenanya memahami ke mana arah mana Islam yang dimaksud dari organisasi ini adalah penting adanya, sebelum melihat fakta-fakta sejarah seputar nilai-nilai kebangsaan SI.
Para pengamat gerakan Islam di tanah air, nampak sepakat untuk menempatkan organisasi ini sebagai bagian dari barisan gerakan modern Islam (Islam modernis). Dengan kapasitasnya tersebut SI ditempatkan sama dengan organisasi semacam Muhammadiyah, Persis dan juga belakangan Masyumi. Dalam pemahaman kelompok modernis Islam dipandang lebih dari sekedar agama privat yang bersifat individualistik dan mengatur semata hubungan antara tuhan dan ciptaannya. Sebaliknya, Islam diyakini merupakan agama yang memberikan ruh (spirit), kebijakan (wisdom) dan arah (way) bagi kehidupan sosial dan konstruksi peradaban Dan Nabi Muhammad telah mengajarkan baik tersirat (substansi) maupun tersurat (formal) tentang pengelolaan sebuah kehidupan sosial dan politik yang sesuai dengan tuntunan nilai-nilai ketuhanan semasa hidupnya. Atas dasar itulah Islam dalam pandangan SI merupakan pedoman yang relevan bagi kehidupan sosial, termasuk juga politik bagi setiap muslim.
Dengan batasan pemahaman itu nilai-nilai politik Islam, baik yang tertulis dalam Al-Qur’an maupun yang tercontohkan dalam Negara Madinah, seperti keadilan sosial, semangat pembebasan, pengutamaan musyawarah, pengakuan terhadap pluralisme dan persamaan manusia, serta pengedepanan rasa persaudaraan, menjadi landasan berpolitik bagi setiap umatnya, tidak terkecuali SI. Secara umum nilai-nilai itu menjadi legitimasi yang paling fundamental bagi SI untuk mengokohkan perjuangannya. Dalam konteks pergantian abad 20, nilai-nilai itu semakin nyata dan relevan dalam upaya melakukan perlawanan terhadap sistem kolonial sekaligus sebagai modal perjuangan bagi umat Islam pada khususnya dan kepentingan bangsa pada umumnya. Dalam memahami nilai-nilai keislaman, di sisi lain, kalangan Islam modernis tidak a priori anti terhadap pandangan-pandangan Barat. Atas dasar itulah secara umum kalangan ini dapat menerima konsep-konsep politik Barat seperti kedaulatan rakyat, demokrasi, negara-bangsa, atau juga sosialisme.
Sedangkan secara khusus terdapat enam hal yang melandasi digunakannya Islam dalam pergerakan politik Indonesia. Pertama, kenyataan historis bahwa rakyat dengan tokoh-tokoh pejuang yang mempertahankan wilayahnya melawan kekuatan kolonial adalah umat Islam yang dipimpin oleh figur-figur ulama ataupun bangsawan muslim. Tidak mengherankan jika di beberapa tempat hikayat perjuangan mereka disamakan dengan hikayat perang sabil. Kedua, secara demografis umat Islam dengan latar belakang budaya yang beragam, yang berserak mulai dari ujung barat hingga ujung timur nusantara adalah kelompok mayoritas bumiputera. Kahin mencatat setidaknya lebih dari 90% bumiputera saat itu adalah muslim[13]. Dengan kondisi sedemikian, Islam merupakan sebuah elemen yang berpotensi besar sebagai tali pengikat yang menyatukan kaum bumiputera dibandingkan ideologi apapun saat itu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Tjokroaminoto bahwa Islam adalah sarana bersatunya beragam suku dan budaya yang terpecah-pecah[14].
Ketiga, secara matematis-empiris kelompok marginal yang paling merasakan penderitaan lahir batin dan terhinakan selama bertahun-tahun adalah umat Islam. Dan dengan makin tidak diindahkannya martabat dan nilai-nilai kemanusiaan, sesungguhnya telah pula melecehkan esensi ajaran Islam itu sendiri. Oleh karenanya umat Islam dituntut untuk melakukan perenungan maupun aksi nyata dalam rangka mematahkan segenap bentuk penghisapan sesama dan penggaran hak asasi manusia yang notabene bertentangan dengan ajarannya. Keempat, dalam konteks ideologis menguatnya penetrasi Barat dan kepentingan kapitalisme telah secara lambat namun pasti menggoyahkan sendi-sendi kehidupan asali kaum bumiputera. Peran agama yang telah demikian mengakar lambat laun digantikan oleh sudut pandang dan identitas yang bertentangan dengannya. Disinilah Islam kemudian dipandang relevan untuk dijadikan simbol pemulihan identitas dan jati diri anak bangsa.
Kelima, makin menguatnya fragmentasi sosial antara pribumi dengan kalangan warga negara kelas dua (oosterlingen), terutama kalangan Cina, membutuhkan landasan filosofis dan praktis bagi upaya perlawanan dan persatuan kalangan bumiputera di tengah persaingan yang demikian keras. Keenam, secara politis makin tidak dapat diharapkannya peran kalangan elit pribumi – terutama para priyayi pro-status quo, maupun kalangan agamawan konservatif – untuk bersama-sama kaum tertindas berjuang menuntut hak-hak bumiputera. Dalam situasi sedemikian maka umat Islam dan tokoh-tokoh SI berusaha untuk menjelmakan diri untuk dapat menjadi media bagi rakyat dalam merebut keadilan dan kebebasan melalui sebuah pendekatan keislaman yang lebih aktual.
Dalam perkembangannya, Islam kemudian membawa peran yang unik dalam percaturan pergerakan kebangsaan. Di satu sisi dia kerap dicurigai sebagai kekuatan ortodoks yang bersikap intoleran dengan keberagaman dan reaksioner terhadap kemajuan zaman. Dalam satu tarikan nafas tidak jarang Islam dan ummatnya kemudian dianggap sebagai penghalang bagi tumbuhnya sebuah kekuatan kebangsaan yang modern. Demikianlah misalnya dapat didengar pandangan Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, yang mengatakan:
“Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya…sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan”[15].
Namun di sisi lain, secara lebih objektif, Islam dan ummatnya dipandang sebagai pilar utama bagi perkembangan rasa kebangsaan di nusantara. Dalam pandangan yang kedua inilah dapat kita lihat simpulan para pemerhati sejarah pergerakan kebangsaan yang memberikan penghormatan yang lebih proporsional akan peran Islam dalam membongkar kebekuan kolonialisme sekaligus mengangkat setinggi-tingginya hakekat perjuangan bangsa atas dasar kepentingan nasional di Indonesia. Satu kesimpulan dari Kahin nampaknya dapat mewakili fenomena yang lebih objektif tentang peran Islam dalam pergerakan kebangsaan menyatakan bahwa Islam tidak hanya menekankan pentingnya persatuan, tetapi juga mengembangkan sentimen dan solidaritas anti-kolonialisme asing dan mengilhami berbagai gerakan masyarakat menentang penjajahan[16]. Sejurus dengan pandangan itu Fred Von der Mehden meyakini bahwa:
“Islam karena itu lebih dari sekadar agama, tetapi juga sebagai faktor yang mendorong ekspresi perlawanan terhadap dominasi ekonomi, superioritas sosial dan kontrol politik rejim kolonial”[17].
Terlepas dari perdebatan itu, dalam pemaknaan Islam yang dimilikinya dan peran penting kesejarahannya yang telah terekam dengan jernihnya, maka dibawah ini akan diulas pijar-pijar semangat kebangsaan SI. Pijar-pijar kebangsaan yang terefleksikan dari empat hal utama, yakni sebagai peletak dasar identitas dan perlawanan nasional, sebagai media penyadaran akan arti pembebasan dan emansipasi politik, sebagai motor pendorong solidaritas dan persaudaraan, dan sebagai penganjur yang gigih upaya pembentukan model ekonomi yang mandiri dan berkeadilan.
Peletak Dasar Identitas Kebangsaan dan Perlawanan
Sebuah upaya besar yang diraih oleh SI dalam masa awal keberadaannya adalah penyadaran tentang identitas nasional. Identitas ini dilihat baik dari sudut pandang keagamaan, yakni sebagai seorang muslim yang bersaudara yang tengah mengalami tekanan dari mereka yang beragama lain, dalam konteks kelas sebagai kaum tertindas yang menjadi korban penjajahan negeri asing dengan antek-anteknya, maupun sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang direndahkan martabatnya baik oleh kaum imperialis kulit putih maupun kulit berwarna lainnya. Dengan mengusung nilai-nilai Islam terangkumlah tiga kesadaran di atas yang kemudian memunculkan kesadaran sebagai sebuah entitas kebangsaan yang satu. Adanya kesadaran akan entitas bersama yang satu inilah yang kemudian menyadarkan sebagian besar bangsa kita tentang konstelasi sosio-politik Hindia Belanda dan kedudukan mereka dalam konstelasi itu.
Adanya pemahaman mengenai letak kedudukan mereka yang sesungguhnya itulah yang pada gilirannya makin menguatkan makna dikotomi-dialektik antara “kita” (kaum terjajah) dan “mereka” (para penjajah) dan memantapkan semangat solidaritas dan persaudaraan, yang nanti akan dibahas pada bagian selanjutnya, yang kemudian semakin mendekati makan kebangsaan sebagaimana yang dinyatakan baik oleh Anderson, Gellner maupun Renan. Di sini Islam, sebagai sebuah agama menjadi self-assertion dalam melawan rejim kolonial dan sebagaimana yang dikatakan oleh Syafiq A. Mughni menjadi sebuah identitas diri yang berjalan beriringan dengan identitas nasional[18].
Demikianlah SI dengan prinsip “nasionalistisch-islamistisch” kemudian menjadi tumpuan bagi kerumunan mayoritas warga Hindia Belanda yang saat itu seolah hidup nyaris dengan atau tanpa kebanggaan identitas. Dan dengan semangat identitas baru itu SI tidak saja mampu mencanangkan sebuah upaya penyadaran untuk tidak lagi terpecah-pecah baik atas dasar status maupun etnis, namun pula menumbuhkan semangat perlawanan atas dasar kesadaran identitas itu. Disini berlakulah hukum identitas di mana adanya identitas akan membawa kebanggaan, kesetiaan sekaligus kesediaan untuk berkorban para pemiliknya.
Rasa kebanggaan akan identitas itu dalam SI tercermin misalnya dari penggunaan bahasa Indonesia dalam pertemuan-pertemuan organisasi, Anggaran Dasar (statuten), dan dokumen-dokumen resmi[19]; digunakannya istilah “kongres nasional” dalam acara pertemuan tahunan sejak 1916 yang memperlihatkan komitmen peruntukan SI bagi seluruh bangsa dan sebagai cerminan perjuangan menuntut pemerintahan nasional sendiri[20], upaya yang gigih untuk meluruskan salah pengertian tentang jati diri orang Indonesia yang kerap direndahkan dan dipermalukan, sampai cita-cita yang disampaikan dalam pidato-pidato resmi tokoh-tokoh SI seputar kedaulatan bangsa Indonesia yang suatu saat nanti akan dapat diraih. Keinginan untuk merdeka itu dapat misalnya dilihat dari cuplikan pandangan Tjokroaminoto yang mengatakan di suatu saat nanti “tak boleh tidak kita kaum Muslim mesti mempunyai kemerdekaan umat atau kemerdekaan kebangsaan dan mesti berkuasa atas negeri tumpah darah kita sendiri”. Kesadaran semacam inilah yang menurut Kahin memperlihatkan agenda politik SI yang menghendaki pemerintah sendiri dan menuntut kemerdekaan sepenuhnya dari kaum penjajah[21].
Sedangkan ekspresi semangat perlawanan dengan sikap menentang setiap kebijakan yang dianggap merugikan bumiputera yang secara kontinu dilakukan baik oleh Tjokroaminoto maupun Moeis dalam sidang-sidang Volksaard. Puncaknya adalah pada tahun 1921 ketika SI keluar dari Volksraad, sebuah instituisi perwakilan yang disebut oleh Agus Salim sebagai “komidi omong”. Bahkan sebelumnya Salim, sebagai tokoh teras SI menggunakan bahasa Indonesia dalam sidang Volksraad sebagai simbol protes terhadap tidak dipenuhinya tuntutan bumiputera. Tercatat dalam sejarah bahwa apa yang dilakukan Salim itu merupakan kali pertama bahasa Indonesia diperdengarkan secara formal dalam forum resmi Volskaard.
Karakter perlawanan SI terlihat pula dengan kesediaan membela hak-hak pribumi dari keculasan sebagian saudagar Cina maupun kesewenang-wenangan para pejabat Belanda, dengan kesediaan melakukan bentrok fisik hingga menjadi motor gerakan pemogokan buruh dan pekerja di beberapa jawatan. Selain dalam bentuk fisik, perlawanan dilakukan SI melalui opini di surat kabar seperti Kaoem Moeda, Pantjaran Warna, Sarotomo ataupun Oetoesan Hindia yang menentang dan mengkritisi setiap upaya mengedepankan kelemahan maupun stereotype yang tidak benar tentang pribumi, yang sering digambarkan sebagai “pemalas”, “jorok”, atau bahkan “primitif” oleh pers Eropa di Indonesia[22]. Dengan sikapnya inilah SI tengah mengasah diri untuk dapat memberikan alternatif pandangan dan sikap berdasarkan kepentingan dan landasan identitas kaum bumiputera.
Berbeda dengan SI, BO tidak secara utuh memberikan rasa penguatan identitas keindonesiaan. Dalam Statuten Pasal 2 BO dikatakan bahwa “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis” (de harmonische ontwikkeling van land en volk van Java en Madura). Bahkan sebagai organisasi yang dibentuk oleh Priyayi yang pada umumnya masih setia dengan Kerajaan Belanda, BO tidak dialamatkan untuk menandingi atau bahkan menggantikan kedudukan Belanda. Bagi para tokohnya, BO sadar bahwa baik pada masa-masa senang maupun susah kaum pribumi Hindia Belanda harus tetap turut dengan keinginan dan kepentingan induk semang. Oleh karena itu, tidak saja setiap upaya radikal harus dijauhi, namun pula sedapat mungkin membela kerajaan Belanda manakala mendapat serangan dari pihak asing tanpa syarat. Demikianlah ide tersebut dapat dilihat dari pandangan tokoh BO Dwijosewoyo yang memandang wajib hukumnya rakyat Jawa membela Belanda dalam menghadapi kekuatan agresor pada Perang Dunia (PD) I.
Dan memang dalam konteks pergerakan nasional sejatinya baru pada tahun 1918 BO menujukan sikap perlawanannya dengan bergabung dalam radical concentrasi sebuah sayap sosialis dalam Volksraad. Sedangkan kesediaan BO untuk lebih sungguh-sungguh membuka diri bagi semua kalangan baru dilakukan sekitar tahun 1930-an[23].
Icon Pembebas dan Emansipsi kaum Bumiputera
Dalam masa ketertindasan akut yang melumpuhkan semangat hidup pada awal abad ke-20, SI muncul sebagai pemberi makna akan kehidupan. Dalam konteks psikologis yang mirip dengan yang dialami oleh rakyat Jerman menjelang kebangkitan NAZI dengan tokoh utamanya Adolf Hitler[24], SI dan Tjokroaminoto mampu menggugah dan menumbuhkan kembali asa kaum pribumi. Hal ini belakangan menyebabkan tokoh-tokohnya seperti Tjokroaminoto di Jawa dan R Gunawan di Sumatera Selatan muncul sebagai sosok yang mesianistik. Tjokroaminoto bahkan dianggap sebagai “Ratu Adil” pembawa kejayaan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat sebagaimana Ramalan Joyoboyo. Sehubungan dengan itu diberitakan di Situbondo misalnya massa yang menyemut bahkan rela mencium kaki Tjokroaminoto untuk mendapatkan berkahnya, suatu hal yang amat tidak disukai oleh si pemiliki kaki. Fenomena kecil itu sekadar memperlihatkan bagaimana kepercayaan dan pengharapan yang diberikan rakyat kepada SI cukup besar, jauh lebih besar dari yang didapatkan oleh organisasi semacam BO. Hal ini terbukti kemudian dengan cepatnya pertumbuhan cabang-cabang dan keanggotaan SI di hampir seluruh pelosok Hindia Belanda. Fenomena asing di tanah jajahan inilah yang kemudian meresahkan banyak kalangan reaksioner, termasuk para priyayi kulit coklat[25].
Menurut Kim So Yeon, dengan kemampuan menempatkan diri sebagai media “pengumpul asa anak bangsa”, SI dapat dikatakan sebagai organisasi pertama di nusantara yang bersifat agensi, yang berperan sebagai media yang mampu menyatukan dan menyalurkan aspirasi rakyat Indonesia dimasanya[26]. Fenomena itu bukannya tidak disadari oleh para pimpinan SI, yang kemudian meresponnya sebagai sebuah penghargaan dan tanggung jawab. Rasa tanggung jawab itu tercermin dengan tidak saja mendidik anggota-anggotanya untuk menjadi figur-figur tangguh yang bersedia memperjuangan kepentingan kaum pribumi, namun lebih dari itu menjadikan upaya pembebasan dan emansipasi politik rakyat sebagai agenda pergerakan, meski kerap dilakukan secara terselubung.
Dalam konteks semangat pembebasan, prinsip yang dikedepankan oleh SI adalah keyakinan bahwa setiap manusia pada dasarnya sama. Atas dasar kesamaaanya itu maka setiap manusia bebas untuk melakukan apapun sesuai dengan kepentingan dan kehendaknya. Oleh karena itu merupakan kewajiban moral bagi setiap muslim untuk turut serta dalam segenap upaya membebaskan manusia dari sistem yang mengungkung, diskriminatif dan melumpuhkan semangat persamaan. Dalam hal ini SI tidak bersikap pasif dan nrimo demi melihat realitas kehidupan yang diskriminatif pada masa kolonial itu. Dalam laporan keterangan mengenai SI pada tahun 1913 disampaikan bahwa para elit organisasi menekankan berkali-kali bahwa “Sang manusia rendah diri” (pribumi, pen) harus melenyapkan kesadaran rasa rendah dirinya terhadap orang Eropa dan bangsa Timur Asing”[27]. Dapat diduga dengan semangat pembebasan inilah agen-agen komunis, meski dengan alasan ideologis yang berbeda, merasa sejalan dan nyaman untuk menjadi bagian dari SI. Begitu pula sebaliknya, bagi sementara anggota SI yang tidak terlalu mendalam pemahamannya tentang Islam, Marxisme dipandang sebagai ajaran yang sah saja digunakan sebagai “landasan ilmiah” perjuangan pembebasan.
Sementara dalam konteks emansipasi politik, SI memandang hal tersebut sebagai keharusan sejarah. Bagi SI, bentuk pemerintahan yang nantinya harus disusun dalam Indonesia Merdeka adalah pemerintahan perwakilan yang berparlemen. Dengan kata lain, SI sejatinya merupakan pendukung utama tegaknya demokrasi, yang menghargai arti kedaulatan rakyat dan persamaan[28]. Sebagaimana yang dikatakan oleh Tjokroaminoto “negara merdeka (Indonesia) yang kaum Partai SI Indonesia wajib mencapainya, pemerintahannya harusnya bersifat demokrat”[29]. Naluri demokratis ini dapat dimaklumi hadir sebagai respon atas model pemerintahan draconian-kolonial, yang sama sekali tidak mengindahkan kepentingan dan aspirasi rakyatnya. Dan dalam situasi sedemikian itulah penghisapan demi penghisapan yang membangkaikan anak bangsa berlangsung dengan marak dan sistematisnya.
Sebagai cerminan dari upaya membebaskan bangsa dari keterkungkungan politik SI mendukung setiap upaya yang memungkian terakomodirnya aspirasi dan kepentingan rakyat banyak, termasuk upaya yang datang dari pihak kolonial sekalipun. Atas dasar itulah SI pada awalnya memandang positif berdirinya Volksaard, meski tetap diliputi rasa curiga beberapa anggota-anggotanya termasuk Tjokroaminoto dan Abdul Muis. Dan dalam institusi Volksaard itulah SI, sebelum akhirnya mengundurkan diri pada tahun 1924, benar-benar menunjukan kepada semua pihak sebentuk komitmen untuk terus memperjuangkan hak-hak kaum tertindas dan menuntut lebih luas lagi hak-hak perwakilan bagi bumiputera dan pemerintahan sendiri (zelfbestuur).
Komitmen untuk meluaskan lagi emansipasi rakyat juga tercermin dari sikap dan pandangan-pandangan tokoh SI dalam pertemuan-pertemuan Indie Weerbaar Actie (Aksi Ketahanan Hindia). Dalam pertemuan-pertemuan itu, berbeda dengan BO, SI secara tegas menyampaikan satu syarat mutlak berupa perluasan hak-hak politik pribumi jika keinginan Kerajaan Belanda untuk mendapatkan dukungan penuh rakyat Hindia Belanda dalam menghadapi PD I ingin terpenuhi. Dalam pertemuan-pertemuan itu SI bersikukuh bahwa “pemulihan kesamaan derajat” dan “keharusan rakyat Indonesia memiliki hak bicara” merupakan suatu hal yang logis didapatkan oleh rakyat bumiputera sebagai bagian dari upaya mempertahankan tanah air dari serangan musuh[30]. SI dengan cerdas melihat kebutuhan kolonial untuk mendapatkan bantuan dari negeri jajahan sebagai peluang untuk mendapatkan posisi tawar yang lebih baik terutama menyangkut hak-hak politik, termasuk dapat mengurus dan menentukan nasibnya sendiri. Disamping itu dengan jitu memaknai ketahanan sebagai juga kemampuan “untuk memenuhi segala hajat negeri tanpa bergantung pada negeri lain”[31], yang berarti sebentuk kemandirian.
Sementara SI demikian memperhatikan perjuangan politik, BO sebagai organisasi kaum priyayi yang memfokuskan diri pada soal-soal rasionalitas pendidikan, nampak belum melihat kemandirian politik seluruh anak bangsa sebagai sesuatu yang benar-benar penting dan mendesak. Bahkan, dari sikap komunitas priyayi sebagai elemen utama pendukung BO, dengan mengutamakan prinsip harmonis-statusquois, terlihat gestur penolakan upaya emansipasi politik itu. Hal ini wajar mengingat salah satu elemen yang akan segera tergerus manakala hak-hak berpolitik rakyat terakomodir dengan seksama adalah diri mereka sendiri. Dalam atmosfir kepolitikan priyayi dan BO semacam itu tidaklah mengherankan jika apa yang dikehendaki oleh SI dianggap sebagai hal yang aneh dan radikal.
Pendorong Persaudaraan dan Solidaritas Anak Bangsa
Berdasarkan Statuten SI persoalan persaudaraan merupakan hal yang penting adanya. Disebutkan bahwa tujuan SI adalah bergaul dalam persaudaraan dan saling bantu tanpa membedakan asal bangsanya. Rasa persaudaraan ini tidak dapat dipungkiri dilandasi oleh prinsip-prinsip ajaran agama Islam, yang menekankan persaudaraan atas dasar kesamaan agama (Islamic brotherhood). Dengan rasa persaudaraan ini ditekankan sebuah komitmen tanpa pamrih untuk bergaul dan memperjuangkan kepentingan bersama. Dan ikatan primordial dalam kasus SI amat kuat menyentuh kesadaran untuk dapat berbuat sesuatu atas kepentingan kolektif. Cikal bakal kebangsaan yang dilandasi oleh semangat sedemikian sejatinya akan jauh lebih kuat dan bermakna ketimbang yang dilandasai oleh kepentingan pragmatis-materialistis semata.
Implementasi dari upaya mendorong solidaritas dan persaudaraan itu tercermin setidaknya dari aksi-aksi solidaritas maupun melalui pidato-pidato para tokohnya maupun tulisan-tulisan kritis di beberapa media massa mempersoalkan dan menyoroti banyak praktek dan ketimpangan yang merugikan pihak bumiputera. Aksi-aksi solidaritas itu diantaranya terkait dengan soal diskriminsai perlakukan hukum, ketimpangan sistem penggajian, perlakuan curang para saudagar Cina, hingga persoalan yang menyangkut harkat perempuan pribumi yang dijadikan gundik oleh pejabat-pejabat kolonial.
Tidak jarang dalam menggalang solidaritas itu datanglah berduyun-duyung anggota SI dengan jumlahnya yang bisa sampai ratusan menyambangi pihak yang membikin masalah dengan orang pribumi. Rapat-rapat raksasa kerap juga digelar sebagai media unjuk solidaritas atas satu kasus atau peristiwa yang merugikan masyarakat umum atau anggotanya. Tidak itu saja semangat solidaritas dan persaudaraan juga diperlihatkan dengan bagaimana anggota SI rela mengeluarkan uangnya demi untuk melunasi hutang ataupun kepentingan-kepentingan sosial keagmaan anggotanya yang lain. Menurut seorang pengamat atas dasar semangat tolong menolong yang diliputi oleh semangat persaudaraan dan solidaritas inilah SI mampu menarik banyak massa dan membuat ribuan orang masuk dalam barisannya.
Jika SI mampu melampaui batas-batas primordial dari berbagai suku bangsa (dengan segenap adat kebiasaan yang dimilikinya) dan merangkumnya dalam semangat kebersamaan atas dasar agama, maka BO belum menampakan gelagat yang sungguh-sungguh menuju arah yang sama. Hal ini tidak mengherankan karena seputar tahun 1908 fokus perjuangan BO masih seputar kepentingan mengharmoniskan dan mensejahterakan kehidupan orang Jawa dan Madura (dan belakangan dengan alasan geografis orang Bali). Bahkan pada suatu kongres pada tahun 1917 perkumpulan ini dengan tegas menolak sebuah usul untuk membuka keanggotaan bagi penduduk daerah lain, termasuk orang Betawi[32]. Pandangan eksklusif itu menyebabkan konsep persaudaraan dan solidaritas masih terbatas di ketiga suku bangsa itu saja ataupun setidaknya masih dalam bentuk-bentuk wacana yang tidak begitu konkret. Atas dasar inilah pandangan MC Ricklefs yang menyatakan bahwa BO sejatinya tidak pernah memperoleh basis rakyat yang nyata di kalangan kelompok kelas bawah[33] nampak masuk akal. Dan dengan demikian pula kecenderungan longgarnya rasa persaudaraan dan solidaritas dalam konteks bangsa cenderung menguat, mengingat segmen tujuan dan lingkup subjek tujuan BO yang juga terbatas.
Penyuluh Usaha Ekonomi Mandiri dan Berkeadilan
Dalam pandangan SI dan para tokohnya sistem ekonomi kapitalis merupakan penyebab kehancuran sendi kehidupan dan kemanusiaan kaum bumiputera. Pandangan ini berangkat dari kenyataan empiris bahwa model sistem ekonomi dan dagang kapitalis yang dikembangkan oleh pihak kolonial saat itu telah menjadikan Indonesia yang subur makmur menjadi sapi perahan kolonial. Pemilikan modal yang timpang dan terus diupayakan timpang telah menyebabkan makna penghisapan manusia atas manusia (l’exploitation de l’homme par l’homme) mendapatkan contohnya yang paling sempurna di nusantara. Dan dengan cara yang sistematis, ketidakadilan dan penghisapan itu terus berlangsung dan terus mendapatkan pembenarannya. Atas dasar itulah kemudian kejatuhan kapitalisme merupakan dambaan bagi SI yang tercermin dari pandangan Tjokroaminoto yang mengatakan:
“Jatuhnya imperialisme dan kapitalisme internasional, yang kita harap dan yakin akan lekas kejadiannya, pastilah akan menimbulkan dan melekaskan tercapainya maksud kita akan mendapat kemerdekaan umat (nationale vrijheid) yang sepenuh-penuhnya”[34].
Dan memang sebagai respon dan perlawanan atas sistem ekonomi kapitalis yang menghisap itu SI cenderung memperlihatkan watak sosialismenya. Makna sosialisme yang kemudian dipadukan dengan esensi dasar nilai-nilai keislaman yang mengharamkan pengumpulan harta dan menganjurkan keadilan sosial, dijadikan sebagai model ekonomi alternatif bagi masa depan bangsa. Dalam konsep ekonomi sedemikian persoalan kemadirian dan keadilan menjadi dua pilar yang ingin ditegakan dengan makna seutuh-utuhnya oleh SI. Kemadirian itu terkait dengan upaya pengembangan kemampuan usaha kaum pribumi, berhadapan tidak saja dengan jaringan kelompok dagang Cina namun juga kapitalis internasional.
Sedangkan dalam konteks keadilan, konsep ekonomi SI tidak diarahkan untuk menyilahkan pemilik modal yang besar untuk beroleh pendapat yang besar dan sebaliknya, namun bagaimana kesempatan berekonomi yang luas, sehat dan berkemanusiaan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat. Sebagaimana yang perna dikatakan oleh Tjokroaminoto: ”tanah kelahiran kita dan keringat kita menghasilkan keuntungan-keuntungan besr bagi pabrik-pabrik gula; sebaliknya pabrik-pabrik itu seharusnya memberikan sebagian dari keuntungannya kepada kita untuk dimanfaatkan”[35].
Untuk mewujudkan pandangan itu SI kemudian menggalakan model ekonomi mandiri yang mengandalkan kepercayaan dan rasa persaudaraan antara sesama warga bangsa. Disinilah semangat persaudaraan menjadi dasar model perekonomian yang hendak diciptakan. Lebih dari itu dengan spirit yang sama persoalan keadilan sosial menjadi suatu hal yang tidak terpisahkan. Upaya saling tolong dan saling bantu dengan tegas telah dicanangkan dalam statuten SI sejak awal berdirinya. Dan terkait dengan hal itu maka model-model ekonomi sosialistis, termasuk persoalan pengelolaan tanah sebagai barang modal kolektif, membentuk usaha dagang mandiri dan kekeluargaan, maupun model koperasi menjadi pilihan-pilihan ekonomi SI.
Meski demikian, tidak berarti ekonomi kapitalistis benar-benar ditinggalkan oleh SI. Dalam upaya menganjurkan penguatan kehidupan melalui perdagangan maka persoalan pemutaran dan pengumpulan modal menjadi bagian yang terkait didalamnya. Namun hal itu dikembangkan dengan cara-cara yang proporsional, dan sebisa mungkin tetap di dalam prinsip tidak memperkaya diri dan menegakan kepedulian sosial. Barangkali atas dasar inilah menurut Sumarno penentangan SI terhadap kapitalisme hanya sebatas prinsip namun tidak seutuhnya dalam praktek.
Dalam pada itu, sebagai organisasi penyuluh pendidikan persoalan ekonomi nampak tidak secara langsung mendapat perhatian BO. Atas dasar itulah bagaimana kritik dan model ekonomi alternatif yang dikehendaki oleh BO dan tokoh-tokohnya tidak secara komprehensif dan jernih terpampang dalam etalase sejarah. Namun dalam setting ekonomi dan politik tahun 1908 dapatlah dipahami jika sebagian kecil anggota BO mulai mendapat pemahaman dan keprihatinan tentang penghisapan sistematis yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial. Namun situasi itu nampaknya bukan merupakan pandangan mayoritas dalam organisasi kaum priyayi itu. Mengingat bahwa dengan status sebagai ambtenaar dengan beberapa fasilitas yang mereka miliki, bukan tidak mungkin pandangan kelompok priyayi termasuk mereka yang tergabung dalam BO relatif moderat. Kemoderatan itulah yang menyebabkan kemudian seorang Tjipto Mangunkusumo, tokoh pendiri BO yang dipandang paling radikal, menjadi tidak sabar dan keluar dari BO untuk bersama-sama Douwes Dekker dan Soewardi Soeryaningrat membentuk Indische Partij.
Dari keempat pijar kebangsaan itu dapat terlihat hakekat kebangsaan yang dipahami dan dilakukan oleh SI. Dari keempat hal tersebut dapatlah pula dibuat sebuah perbandingan sederhana antara SI dengan BO (sebagai sebuah organisasi yang secara umum telah diklaim oleh bangsa ini sebagai pemicu rasa kebangsaan dan kebangkitan “nasional” di Indonesia).
Tabel 1
Perbandingan Boedi Oetomo dan Sarekat Islam dalam
Masalah-Masalah Inti Kebangsaan
masalah | Budi Utomo | Sarekat Islam |
Penguatan Identitas Kebangsaan & Semangat Perjuangan melawan Sistem Kolonial | Identitas Kejawaan lebih ditekankan sehingga disebut oleh Nagazumi sebagai pendukung “nasionalisme Jawa” dan bersikap moderat terhadap sistem yang ada sehingga dipandang tidak mengganggu oleh pemerintahan kolonial | Melakukan upaya-upaya untuk menunjukan kepada rakyat dan pemerintah kolonial tentang hakekat jati diri kebangsaan. Dan melalui upaya tersebut munculah semangat melawan kesewenang-wenangan kolonialisme |
Persoalan Pembebasan & Emansipasi | Emanispasi terbatas yang melibatkan kalangan priyayi di Jawa dan Madura. Emansipasi pendidikan merupakan hal yang penting, namun sejatinya menjadi hambar mengingat pembatasan cakupan kelas dan ikatan etnisnya | Merupakan agensi bagi persoalan ini dengan melibatkan diri baik pemikiran maupun aksi untuk membebaskan kaum pribumi dari tekanan sistem kolonial yang tidak adil, sekaligus mendorong terciptanya emansipasi politik bagi bangsa Indonesia |
Komitmen terhadap Persaudaraan & Solidaritas Kebangsaan | Terbatas pada komunitas Jawa dan Madura dan solidaritas sesama kaum priyayi dan kepentingan kaum elit. Barulah dalam perkembangan dan diakhir hayatnya BO mulai menampakan watak terbuka | Menjadi semen pengikat hampir semua etnis besar dan kelompok kelas serta ideologis yang ada di Indonesia dan secara aktif menumbuhkan semangat persaudaraan, persatuan dan solidaritas |
Semangat Berusahan Secara Mandiri & Berkeadilan | Sebatas wacana, namun belum memperhatikan secara seksama sistem kapitalis-kolonialis dan relatif belum memiliki langkah alternatif yang konkret tentang prinsip ekonomi yang harus dikedepankan bagi masyarakat bumiputera | Menentang segenap bentuk penghisapan ekonomi bagi bumiputera. Dan melakukan advokasi akan ketidakadilan berusaha serta melakukan langkah kongkret untuk mengedepankan model ekonomi mandiri dan berkeadilan. |
Sumber: Diolah dari berbagai Sumber
Era Reformasi dalam Tinjauan semangat Kebangsaaan SI
Dalam konteks saat ini nilai-nilai pemikiran dan perjuangan kebangsaan SI masih tetap relevan. Hal itu tidak saja tercakup pada penguatan politik demokrasi, namun juga pada persoalan penguatan solidaritas sosial dan pembangunan kehidupan ekonomi yang lebih manusiawi. Dan dalam hal inilah meskipun makna nasionalisme telah semakin berkembang, terdapat pandangan-pandangan kebangsaan SI, yang diliputi oleh semangat emansipasi, persaudaraan dan berkeadilan yang dapat dipetik sebagai pelajaran kolektif bangsa dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini.
Semangat Penguatan Jati Diri Kebangsaan
Dalam konteks pergaulan dunia saat ini jati diri bangsa semakin dipertaruhkan. Kesiapan bangsa Indonesia untuk bertarung di tengah ketatnya persaiangan global dan semakin pragmatisnya masyarakat merupakan tantangan tersendiri. Dalam kancah global penetrasi pandangan dan kepentingan asing merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Namun tentu saja tidak semua pandangan dan kepentingan itu sejalan dengan kepentingan dan pola pikir bangsa. Kemampuan Indonesia untuk dapat memanfaatkan globalisasi dan berperan sebagai pemain dan bukan hanya pengikut didalamnya sejatinya ditentukan pertama kali dengan pemahaman tentang jati dirinya. Dari pemahaman itu akan dimaklumi dari mana dan hendak kemana bangsa ini melangkah.
Di sisi lain, tanpa pemahaman dan kesadaran serta langkah konkret mempertahankan jati diri, bangsa ini hanya akan terombang ambing menjadi buih pasif yang hanya akan menjadi objek dari percaturan politik global. Alih-alih dapat memperdengarkan kepentingan nasionalnya, hakekat jati diri bangsa dapat dengan mudah tergadai hanya demi pragmatis belaka. Gejala-gejala kegamangan identitas sudah semakin terlihat mulai dari dengan semakin asingnya generasi muda dengan hal-hal mendasar tentang bangsanya, termasuk misalnya tentang letak geografis sebuah kota besar, sampai dengan sikap elit yang dengan mudahnya menjual aset-aset nasional demi kepentingan janga pendek.
Sementara itu dalam konteks internal, deru demokratisasi bukannya tidak melahirkan efek mundur. Bangkitnya kesadaran etnis dan religiusitas yang tidak dialamatkan bagi kepentingan penguatan keindonesiaan, nampak seperti fenomena terbukanya kontak pandora dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ekspresi meningkatnya kesadaran etnis dapat terlihat dari maraknya keinginan untuk memekarkan daerah, hingga upaya serius untuk melakukan separatisme atas dasar kepentingan etnis. Dalam situasi ini benih-benih partikularisme dapat saja memundurkan arah jarum jam, sehingga bangun Indonesia Raya yang besar ini dapat lumpuh atau masih mampu bergerak namun tanpa ruh.
Belajar dari SI maka kekukuhan (endurance) untuk mempertahankan dan memperlihatkan hakekat kebangsaan merupakan langkah awal organisasi ini untuk dapat eksis dan berperan ditengah-tengah rakyat dan sistem kolonial. Hal itu terbukti dengan tidak saja berhasil menggugah rasa persatuan dan menumbuhkan kepercayaan diri anak bangsa, namun sekaligus mampu merespon dan merepotkan praktek kolonialisme Belanda. Dari pengalaman tahap-tahap awal keberadaan SI mengisyaratakan bahwa penguatan identitas sebagai sebuah bangsa adalah kunci utama bagi kemajuan perjuangan untuk dapat eksis dan berperan maksimal di tengah-tengah bangsa terjajah. Dan dalam konteks reformasi persoalan tersebut nampaknya masih belum tergarap dengan baik dan menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan manakala bangsa ini ingin kembali tumbuh sebagai sebuah bangsa yang berkepribadian dan mampu berperan dalam kancah internasional. Jika hal ini dapat diselesaikan bukan tidak mungkin pijaran kebangsaan SI dimasa lampau dapat terlihat kembali pada masa ini dan pada masa-masa selanjutnya.
Pembebasan atas Oligarki Politik
Kehidupan demokrasi di Indonesia telah relatif pulih. Namun bagi sebagian kalangan pulihnya demokrasi di Indonesia itu masih bersifat formalistik, ketimbang telah menyentuh hakekat demokrasi yang sesungguhnya. Hal itu dapat terlihat dengan bagaimana maraknya jumlah partai dan pelaksanaan pemilu baik untuk memilih anggota legislatif (DPR, DPD dan DPRD), presiden hingga kepala daerah, yang tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas keterwakilan kepentingan rakyat. Alih-alih semakin menguatkan hakekat kedaulatan rakyat, sistem politik bangsa saat ini makin menunjukan watak oligarkinya. Bahkan dalam batas-batas tertentu masih menunjukan model politik feodal yang pada tahun 1998 coba untuk ditumbangkan. Akibatnya saat ini sudah mulai muncul gejala apatisme politik di tingkat akar rumput yang terlihat misalnya maraknya praktek golput dan makin menguapnya tingkat antusiasme dan kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Untuk soal yang terakhir itu jelas merupakan hal yang ironis mengingat partai politik merupakan simbol kehadiran demokrasi.
Fenomena demokrasi formalistik di atas tentu saja tidak datang dari ruang hampa. Dia muncul terutama sebagai akibat dari banyak hal mulai dari persoalan prosedural, institusional, budaya hingga soal-soal kulitas sumber daya manusia. Ketidaksiapan multi-dimensi itu sayangnya kerap diperumit dengan makin bergentayangannya kaum oportunis dengan mengatasnamakan reformasi. Disamping itu masih adanya pemahaman yang simplistis mengenai politik sebagai sekadar ajang meraih dan mempertahankan kekuasaan telah menyebabkan semangat pelayanan dan pemberian akses partisipasi yang seluas-luasnya kepada rakyat menjadi terbengkalai. Akibatnya secara substansial rakyat saat ini belum seutuhnya menikmati kehidupan politik di era reformasi. Lebih dari itu, masih adanya praktek oligarki politik tak pelak akan mengarah pada kecenderungan-kecenderungan yang akan menumpulkan semangat kebersamaan di kemudian hari. Hal ini tentu saja akan membawa pengaruh negatif bagi rasa kebangsaan itu sendiri yang memang menuntut pengorbanan hak-hak individu warganya menuju apa yang disebut oleh Rousseau sebagai kehendak bersama (general will).
Dari kondisi ini semangat SI untuk memperjuangkan emansipasi hak-hak politik dan partsipasi politik rakyat dengan seluas-luasnya sebagai bagian dari perjuangan kebangsaan dapat dijadikan sebuah catatan yang berharga. Semangat inilah yang dapat memicu perbaikan mengingat efeknya yang mencakup dua domain sekaligus, yakni rakyat dan elit politik.
Di satu sisi semangat emansipasi politik dapat mencerdaskan baik dalam konteks pemahaman maupun aksi kepada rakyat tentang haka dan kewajibannya sebagai warga negara dan mahluk politik. Dengan diberi kesempatan yang seluas-luasnya dalam turut menentukan nasibnya sendiri, rakyat diajarkan untuk berdisiplin dan bertanggung jawab dalam setiap keputusan dan pilihan politik yang diambilnya. Adanya kepercayaan penuh kepada rakyat untuk berandil dalam kehidupan politik juga akan mempercepat rasionalisasi dan objektifitas berpolitik rakyat itu sendiri. Sebaliknya dengan tetap menahan dan membatasi emansipasi politik rakyat, secara tidak langsung bangsa ini tetap memelihara sikap berpolitik yang tidak bertanggung jawab dan selalu dengan mudah menyalahkan pihak lain. Di samping itu, sebagaimana misalnya yang terjadi di Porto Allegre Brazil dengan sebentu demokrasi deliberatif-nya, dengan semakin intensnya keikutsertaan rakyat dalam proses pembuatan kebijakan maka kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan semakin mendekati kebutuhan masyarakat itu sendiri. Hal mana yang pada akhirnya akan memperkuat kepercayaan masyarakat kepada sistem politik yang dimilikinya.
Di sisi lain, dengan semakin terbukanya akses politik yang dapat makin mencerdaskan dan membuka pemahaman politik masyarakat, elit politik termasuk institusi politik semacam partai politik dituntut untuk lebih keras lagi bekerja. Hakekat kerja keras itu terutama berlangsung pada tiga aras. Pertama, kerja keras untuk tidak lagi mengandalkan kebesaran partai, namun secara individual makin mendekati masyarakat agar dapat memahami hakekat kebutuhan dan aspirasi mereka. Pilihan ini tidak dapat dihindari makala mereka ingin muncul sebagai figur yang dikenali oleh masyarakat. Kedua, kerja keras untuk lebih aspiratif dan cerdas dalam menangkap kebutuhan masyarakat yang tertuang dalam program dan agenda partai politik. Dengan semakin cerdasnya masyarakat maka tawaran-tawaran kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan mereka akan lebih didengar ketimbang hanya sekadar mengandalkan kebesaran masa lalu (the glory of the past) ataupun ketokohan (figure). Ketiga, kerja keras untuk semakin mempercepat pelembagaan atau pemodernan partai, untuk menjemput kebutuhan politik masa datang yang lebih pragmatis, kompleks dan mengglobal. Dengan semakin modern dan adaptifnya partai dan institusi politik, secara teoretis hal ini akan makin dapat mengurangi kecenderungan oligarki. Sebuah kecenderungan feodalistik a’la penjajahan yang telah dengan gigih ditentang oleh SI karena tidak saja telah menghancurkan kehidupan rakyat, namun pula mencacah-cacah hakekat kebangsaan itu sendiri.
Pengokohan Kembali Rasa Senasib Sepenanggungan
Saat ini, akibat himpitan ekonomi dan tuntutan egoisme pekerjaan, telah muncul sebuah fenomena menguatnya perasaan individualistis yang menyebabkan kebanyakan masyarakat menjadi mahluk anti-sosial. Hal ini berdampak pada minimnya kepedulian bangsa kita akan nasib sebagian saudaranya. Padahal persoalan persaudaran semakin penting untuk dikedepankan mengingat hanya dengan kesadaraan inilah upaya pencegahan maupun pemecahan segenap problematika yang menyakitkan sebagai bangsa dapat terselesaikan dengan lebih cepat dan tepat.
Saat ini berbagai persoalan pelik – semisal lambannya penanganan bencana alam di berbagai daerah, adanya keinginan disintegrasi yang kuat di dua provisni terujung, maraknya konflik berbau SARA di berbagai daerah, masalah terhinakannya tenaga kerja Indonesia di luar negeri, pertarungan perebutan batas-batas negara dan pulau-pulau terluar dengan negara tetangga, makin tingginya tingkat kriminalitas dan perbuatan a-susila, ketimpangan ekonomi dan sosial yang semakin sulit tertanggulangi, hingga masalah pembinaan olah raga yang tidak kunjung membaik – nampak menjadi soal-soal yang dipandang “biasa”, yang menjadi urusan si korban atau paling banter bagian tertentu dalam pemerintah dan masyarakat setempat. Uniknya dalam konteks pemerintah saat ini, kerap kemudian ditemui sikap ego-sektoral baik dalam konteks horizontal (antar departemen dan instansi) atau vertikal (antara pusat dan daerah), yang menyebabkan semakin tertunda-tundanya proses penyelesaian suatu masalah. Saat ini hampir tidak ada upaya menggalang solidaritas dalam skala nasional untuk menunjukan rasa keprihatianan dan kepedulian kita sebagai anak bangsa dalam soal-soal yang sudah kerap berseliweran di depan mata itu. Masing-masing kita saat ini sibuk berkutat dengan kepentingannya sendiri dan secara langsung dan tidak tengah menaikan tabir setinggi-tingginya terhadap realitas yang ada di sekelilingnya.
Hal ini jelas merupakan sebuah ironis. Bagaimana mungkin sebuah bangsa yang dikenal dengan semangat kebersamaan dan persatuannya, saat ini bisa demikian terbelah dalam merespon penderitaan bangsanya sendiri. Bahkan tidak sedikit memanfaatkan situasi prihatin demi meraih keuntungan ekonomi, misalnya dengan melakukan penimbunan sembako, BBM hingga gas. Dan nampaknya situasi minimnya rasa solidaritas ini dipahami oleh banyak pihak termasuk negara tetangga. Sehingga tidak mengherankan jika pelanggaran batas-batas negara ataupun penistaan hak-hak tenaga kerja kita terus dilakukan bahkan dengan cara-cara yang lebih terbuka.
Sikap untuk berkomitmen dan berkhidmat SI dalam mengalang solidaritas sebagai satu bangsa yang senasib sepenangungan baik dalam bentuk wacana hingga aksi-aksi kolektif dalam menunjukan keprihatianan dan pembelaan sesama anak bangsa sejatinya patut direnungkan dan dijadikan pelajaran tersendiri. Sikap kebangsaan SI dengan menjunjung tinggi persaudaraan pada masa lalu tengah berhasil menggetarkan dan menciutkan nyali kaum penjajah. Saat ini bukan tidak mungkin dengan semangat solidaritas yang sama bangsa ini akan dapat kembali meraih kepercayaan diri dan martabatnya sebagai suatu bangsa. Dan yang terpenting dari itu adalh agar tetap bisa melestarikan hakekat positif akan maksud dari kata-kata “sebangsa dan setanah air”.
Penolakan terhadap Sistem Ekonomi yang Menghisap
Hingga saat ini bagi sebagian kalangan bangsa Indonesia belum seutuhnya merdeka. Terutama bagi mereka yang berada di lapisan bawah yang tidak juga pernah mengecap kenikmatan keteraturan makan, pendidikan, kesehatan ataupun setidaknya hidup secara manusiawi di tempat yang memang layak untuk dihidupi oleh manusia. Tingkat pembunuhan sadis dan di luar rasionalitas yang berlatar belakang ekonomi nampak menjadi fenomena keseharian yang ada di tanah air dewasa ini. Begitupula secara umum masih minimya tingkat pendapat warga negara, tingginya angka pengangguran dan kemiskinan, maupun hutang luar negeri yang sudah mencapai Rp. 1.428 Triliun merupakan potret buram ekonomi kita. Dari sisi ekonomi pada khususnya dan dalam tingkat kualitas kehidupan bangsa kita saat ini semakin jauh tertinggal dengan kebanyakan bangsa lain, termasuk mereka yang juga mengalami goncangan ekonomi dahsyat pada akhir tahun 1990-an.
Adalah sebuah kenaifan jika hal itu dianggap tidak terkait dengan kebijakan ekonomi bangsa saat ini yang semakin dipengaruhi oleh pendekatan neo-liberal. Hal ini jelas merupakan ironi. Sebuah bangsa yang dititipkan oleh para pendirinya yang mewanti-wanti arti penting keadilan sosial, justru tumbuh dan berkembang menjadi mahluk liberal, yang dengan dinginnya melakukan privatisasi, liberalisasi dan minimalisasi campur tangan negara. Dalam semangat Darwinisme dan ketiadaan “penengah” yang berpihak pada kepentingan mayoritas dan kaum miskin, maka dapat ditebak jika hanya mereka yang kuat dan siap secara kapital yang keluar sebagai pemenangnya.
Dalam skala kecil, semangat sedemikian memunculkan penindasan sesama anak bangsa. Dan dalam skala global situasi ini memunculkan penindasan suatu kelompok kecil orang terhadap suatu komintas besar setingkat negara, di mana pemerintah dalam negara itu kerap justru berperan sebagai panita kepentingan kelompok kecil itu. Dengan semangat kompradorisme, jaring-jaring kekuasaan menyatukan segenap potensi ekonomi global dengan kepentingan pengusaha nasional dan lokal dibawah promosi media komunikasi dan perlindungan aparat serta birokrat untuk secara sistematis menguras kekayaan bangsa. Di sini jangankan pengedepanan semangat kebangsaan, sprit solidaritas dan kepedulian ataupun keadilan sosial saja sudah ditutup rapat-rapat. Tidak mengherankan jika kemudian negara tersebut tidak saja semakin terkuras ekonominya, namun pula semakin tergerus sikap kebangsaannya karena terus didikte oleh pihak asing dengan kepentingan sempitnya. Akibatnya satu persatu aset penting negara pun digelontorkan dengan mudahnya.
Saat ini mustahil gelegar teriakan Bung Karno “go to hell with your aid”, yang terbukti dalam konteks spirit mampu membuat negara-negara seperti China, Malaysia, India atau Iran jauh lebih makmur ketimbang kita, dapat terdengar kembali di tengah bumi persada. Sayangnya janji-janji surga IMF ataupun World Bank pun tidak kunjung cepat menjadi kenyataan. Tetap saja Indonesia berada dalam kondisi ekonomi yang marginal. Melihat fenomena itu penyelesaian yang harus dilakukan oleh bangsa ini mungkin membutuhkan pendekatan multi-disipliner dan waktu yang tidak sebentar. Namun persoalan paradigma dan komitmen keras untuk meraih kemandirian dan keadilan ekonomi merupakan hal fundamental yang harus dilakukan.
Dan dalam konteks paradigma itulah pandangan SI tentang jahatnya kapitalisme dan perlunya pendekatan yang lebih manusiawi dan berkeadilan menjadi tepat untuk dikedepankan kembali. Persoalannya, tawaran alternatif itu nampak tidak mudah untuk direalisasaikan, mengingat para pembuat kebijakan saat ini nampaknya lebih suka membutakan diri dari fakta-fakta empiris maupun masukan-masukan bernas dari tokoh-tokoh ekonomi nasional maupun dunia tentang sudah semakin usangnya pendekatan ekonomi neo-liberalisme saat ini.
Menimbang perlunya penghargaan lebih dari SI sebagai organiasai kebangsaan terbesar pada awal abad ke-20 yang pernah dimiliki oleh bangsa ini sejatinya ditujukan agar generasi ke depan tidak mengalami pembodohan sistemik akan sejarah perjuangan bangsannya sendiri. Situasi yang dapat membenarkan tesis Voltaire tentang kuatnya fenomena orang-orang yang lupa pada sejarah. Meski memiliki beragam kelemahan yang ada, termasuk potensi perpecahan internal, namun pemahaman yang objektif jelas tidak dapat mengikari peran yang SI dalam menumbuhkembangkan semangat kebangsaan dalam sejarah Indonesia. Tanpa bermaksud mendebat tentang simbolisme mengenai hari kelahiran kebangkitan nasional, yang mungkin saja juga tidak dikehendaki oleh tokoh-tokoh SI, makalah ini secara sederhana berupaya untuk sekadar memperlihatkan hal-hal yang mungkin tercecer dari memori kolektif bangsa ini akibat pasungan historis yang dilakukan hampir permanen baik oleh Rezim Orde Lama maupun Orde Baru. Hal yang pasti semangat kebangsaan SI secara substatif masih tetap relevan bagi kehidupan bangsa pada masa lalu, saat ini dan mungkin saja pada masa yang akan datang.
Daftar Pustaka
Anderson, Benedict, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso Editions and NLB, 1983).
Fromm, Eric, Escape From Freedom (New York: Avon Books, 1965).
Gellner, Ernest, Nationalism (London: Phoenix, 1998).
——————–, Nations and Nationalism (Oxford : Basil Blackwell, 1983).
Guibernau, Montserrat dan John Rex (eds.), The Ethnicity Reader Nationalism, Multiculturalism and Migrations (Cambridge: Polity Press, 1997).
Kahin, George McTurnan, Nationalism and Revolution in Indonesia (Cornell University Press, Itacha, 1952).
Korver, APE, Sarekat Islam Gerakan ratu Adil? (Jakarta: Grafiti Press, 1985).
Leirissa, R Z, Terwujudnya suatu Gagasan Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950 (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985).
Mughni, Syafiq A, “Munculnya Kesadaran Nasionalisme Umat Islam”, dalam Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Menjadi Indonesia. 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara (Jakarta: Mizan, 2006).
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1994).
Ricklefs, MC, Sejarah Indonesia Modern (Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1991).
Ridyasmara, Rizki, “20 Mei Bukan Hari Kebangkitan Nasional”, dalam www.eramuslim.com.
Sumarno, Perjuangan Bernegara Demokrasi H.O.S Tjokroaminoto: Telaah Historis Pemikirannya dalam Pergerakan Nasional Sarekat Islam 1912-1934, tesis (Depok: Fakultas Ilmu Budaya, Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, 2000).
Utomo, Cahyo Budi, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan hingga Kemerdekaan (Semarang: IKIP Semarang, Press, 1995)
Yeon, Kim So, Makna dan Keterbatasan Sarekat Islam dalam Pergerakan Nasional, tesis (Depok: Fakultas Ilmu Budaya, Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, 2003).
Yusuf, Mundzirin, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 2006).
Penulis adalah Peneliti Senior CIDES
[1] Bagi Penguasa Belanda Boedi Oetomo sama sekali tidak membahayakan. Selain karena berisikan kalangan pegawai pemerintah yang loyal (yang lebih suka berbahasa Belanda atau Jawa ketimbang Bahasa Indonesia dalam pertemuan-pertemuanya), tujuan organisasi ini pun dianggap tidak mengusik sama sekali penjajahan (karena hanya mencakup masalah perbaikan pendidikan yang sebenarnya telah dicanangkan oleh Belanda dengan politik etis) dan bersifat segmenter (tidak berupaya menjadi alat persatuan seluruh anak bangsa) dengan hanya memfokuskan bagi upaya peningkatan perbaikan hidup orang Jawa dan Madura.
[2] A.P.E Korver, Sarekat Islam Gerakan ratu Adil? (Jakarta: Grafiti Press, 1985), h 1.
[3] Banyak versi mengenai jumlah anggoat SI dalam periode awalnya (1912-1916). Deliar Noer misalnya menyebutkan angka 860.000 terkait dengan mereka yang hadir dalam Kongres Nasional pertama pada tahun 1916. Namun angka 700 ribu nampak relatif masuk akal dengan demikian besar dan pesatnya pertumbuhan organisasi ini di seluruh Indonesia. Di Sumatera Selatan misalnya 1 dari 3 laki-laki bumiputera pada tahun-tahun tersebut diyakini adalah anggota SI.