Tags
*Buletin Elektronik* *www.Prakarsa-Rakyat.org*
*SADAR *
*Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi*
* Edisi: 127 Tahun IV – 2008
Sumber: www.prakarsa-rakyat.org*
———————————————————-
*MENGUKUR TINGKAT KESADARAN MASYARAKAT MISKIN DAN TERTINDAS*
*Oleh Hermawan **
Ketika saya melewati sebuah pabrik garmen di wilayah industri
Majalaya-Kabupaten Bandung dan istirahat sejenak di depan gerbang,
secara langsung dalam pandangan pertama pabrik itu kelihatan diam dan
sepi hanya terlihat beberapa satpam dan mobil satu dua keluar masuk.
Tetapi begitu jam Istirahat tiba ribuan manusia berebut keluar dari
gerbang dengan bergegas, ternyata pandangan pertama yang kelihatan
adalah salah. Di dalam pabrik yang diam dan kelihatan sepi ternyata
banyak sekali manusia yang sibuk beraktivitas.
Kebetulan di tempat saya beristirahat banyak juga buruh yang mengisi
istirahat kerja dengan duduk-duduk santai. Saya mulai bertanya kepada
salah satu dari mereka yang kalau tidak salah dengar namanya Jakub,
“Pak, jumlah yang bekerja di dalam pabrik berapa?” Jakub langsung
menjawab, “Ya ada sekitar empat /ribuan mah./” Saya bertanya lagi,
“Berarti banyak sekali ya, Pak?” Sebelum dijawab saya sempat menebak
dalam hati Jakub pasti menjawab begini, “Ya, memang banyak.” Tetapi
ternyata jawaban yang sudah saya duga tersebut salah dan jawaban yang
keluar sangat mencengangkan, “/K//atingalina we loba tapi aslina mah
sepi asa dileuweung euweh sasaha euweuh batur/” (kelihatannya banyak
tetapi sebenarnya sepi kayak di hutan /gak /ada /siapa-siapa, gak /ada
teman).
Saya terdiam, kemudian mulai bertanya lagi, “Maksudnya apa, Pak?” Jakub
menjelaskan, “Kerja di dalam /kan /banyak orang tetapi begitu saya ada
masalah dengan atasan yang kasar dan membayar upah kami murah ternyata
yang lain /gak/ ada yang /tau /atau pura-pura /gak tau. J/adi ya
sendirian aja rasanya di tempat yang banyak orang.” Sangat disayangkan
saat itu waktu berjalan cepat sementara Jakub beserta kawan-kawanya cuma
mendapat setengah jam untuk istirahat. Mereka meninggalkan saya dalam
ketercengangan atau malah kebingungan.
*Bagaimana kondisi sebenarnya masyarakat miskin?*
Sampai di rumah kontrakan, saya mulai teringat dengan ucapan salah satu
kawan dari Gunung Halu-kabupaten Bandung Barat. Dia pernah bilang,
“Jangan hanya melihat yang kelihatan karena banyak sekali yang tidak
kelihatan di sekeliling yang kelihatan.” Kawan tersebut sudah lama
mengatakan itu dan sepertinya saya tidak pernah mau menanggapi karena
saya pikir itu adalah kebiasaan mistis dan takhayul yang memang sangat
dikenal di daerah Gunung Halu. Sungguh menyesal rasanya karena waktu itu
saya langsung menghakimi perkataan tersebut.
Obrolan yang terjadi antara saya dengan jakub siang itu memang hanya
sebatas lingkup pabrik tetapi semua itu bisa juga menggambarkan
kehidupan masyarakat secara umum. Kita dengar ketika ada seorang bayi
yang mati karena kelaparan, saat itu mungkin si ibu bayi dan bayinya
merasakan kesunyian dan kesendirian di tengah banyaknya orang. Kita
dengar beberapa pedagang kecil yang menangis dan meratapi gerobaknya
yang dirusak saat itu. Dia merasa sendirian dan sunyi di tengah
banyaknya orang atau ketika petani penggarap yang terusir dari tanahnya
karena penggusuran tidak bisa berbuat apapun karena merasa sendiri.
Pertanyaanya, siapa yang membuat bayi-bayi kelaparan, siapa yang membuat
gerobak-gerobak rusak dan tanah-tanah digusur? Akan sama jawabannya
dengan di pabrik tempat Jakub bekerja, ada masalah upah murah, jam kerja
panjang dan hilangnya kesejahteraan. Pasti ada kekuatan yang membuat itu
dan tidak mungkin itu terjadi begitu saja. Jika siang itu Jakub
menjelaskan yang menjadi sumber masalah adalah pemilik yang serakah,
tentu pula yang membuat kesengsaraan di masyarakat adalah orang-orang
serakah yang merasa memiliki negeri ini sehingga dengan seenak sendiri
menggusur tanah rakyat, merusak gerobak para pedagang kecil serta
menaikkan harga BBM.
*Ketika sesama orang miskin bertengkar, siapa yang salah?*
Lalu ke mana korban-korban yang lain? Kenapa mereka tidak saling peduli
dan kenapa pula mereka malah /berantem /sendiri memperebutkan minyak
murah, beras murah dan saling bacok ketika rebutan BLT, siapa yang
salah? Kalau kita tanyakan pada polisi, pastilah yang /bacok-bacokan
/yang salah, yang rebutan yang salah, karena mengganggu ketertiban umum.
Sepintas melihat itu adalah jawaban yang benar, tetapi yang tidak
kelihatan di situ adalah apa dan siapa yang membuat mereka berebut dan
saling bacok itulah sumber masalah.
Jujur, saya tidak akan pernah menyalahkan orang-orang miskin, yang
berebut dan /bacok-bacokan /karena ingin bertahan hidup. Salah satu
kawan lagi dari Jakarta pernah bilang bahwa orang miskin masih rendah
kesadarannya. Pendapat yang sering terdengar dan lazim tapi sebenarnya
sangat salah karena hari ini masyarakat benar-benar sadar telah
tertindas buktinya adalah banyak pemuda-pemuda lulus sekolah mengantri
di pabrik karena sadar tidak ada tempat untuk mendapatkan makan lagi di
negeri ini sehingga dengan keterpaksaan mereka masuk pabrik meski tahu
akan dibayar murah. Kemudian buruh-buruh yang sudah bekerja ingin keluar
dari pabrik karena sadar ada penindasan di dalam pabrik.
Masyarakat miskin lainnya sadar bahwa susah mendapat tempat dan makan.
Mereka tidak mau lagi masuk pabrik karena semakin mahal biaya dan tetap
sama penindasannya, sehingga dengan kesadarannya telah ditindas. Tetapi
mereka merasa tidak ada teman dan sepi, maka banyak yang memutuskan
untuk pindah dari kehidupan di dunia (bunuh diri). Bagi saya itu adalah
dasar kesadaran yang telah dimiliki oleh masyarakat miskin. Masalahnya
kesadaran tersebut tidak terakomodir dan cenderung dibawa ke arah yang
kontra produktif artinya sadar telah ditindas tetapi tidak mau melawan
dari ketertindasan dan memilih lari.
Kelihatan sangat jelas solusi yang mereka pilih adalah suatu kesalahan
tetapi yang tidak kelihatan di kasus ini adalah kenapa mereka memilih
solusi itu? Saya mencoba mengerti bagaimana cara mereka mencari solusi
yang tepat saat tingkat pendidikannya rendah bahkan ada yang sama sekali
tidak sekolah. Bagaimana mereka bisa berpikir mencari solusi saat mereka
semakin terpinggirkan dan kelaparan yang semakin tidak bisa ditahan.
*Keberpihakan kepada rakyat miskin*
Tetapi jika kita kembali melihat yang kelihatan bahwa sebenarnya tidak
semua orang di Indonesia miskin dan tidak berpendidikan, tengoklah di
kampus-kampus banyak mahasiswa, tetapi ke mana mereka? Untuk apa mereka
sekolah, tentu itulah yang tidak kelihatan dan hanya mereka yang tahu.
Maksudnya, hari ini memang banyak kaum intelek yang tetap punya pilihan
untuk bersama rakyat miskin melawan penindasan. Tetapi berapa jumlah
mereka dan sampai kapan mereka-mereka ini bersama rakyat miskin? Sampai
tamat kuliah atau sampai mendapatkan tempat yang nyaman? Saya tidak akan
pernah mau mendengar jawaban dari pertanyaan itu meskipun saya sendiri
yang melontarkan pertanyaan itu karena konsistensi dalam perjuangan
tidak cukup hanya diucapkan. Wassalam.
“Siapa yang tergetar hatinya melihat penindasan, maka kau adalah kawanku”
(Ernesto “Che” Guevara)
* Penulis adalah anggota Aliansi Buruh Menggugat-Bandung, sekaligus
anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.
**Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan
sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk
kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna
harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat.
Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh
materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau
www.prakarsa-rakyat.org).
*webmaster@prakarsa-rakyat.org <http://www.prakarsa-rakyat.org> *